PENGERTIAN PERENCANAAN, TUJUAN PERENCANAAN, PRINSIP PERENCANAAN, FILOSOFI PERENCANAAN PROGRAM
PENGERTIAN
PERENCANAAN, TUJUAN PERENCANAAN, PRINSIP PERENCANAAN, FILOSOFI PERENCANAAN
PROGRAM
PENGERTIAN PERENCANAAN
Perencanaan menurut Abe (2001) dalam Ovalhanif (2009) adalah susunan (rumusan) sistematik mengenai langkah-langkah mengenai langkah (tindakan-tindakan) yang akan dilakukan di masa depan, dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang seksama atas potensi, faktor-faktor eksternal dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Tjokroamidjojo (1995) dalam Ovalhanif (2009) mendefinisikan perencanaan sebagai suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (maksimum output) dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif. Selanjutnya dikatakan bahwa, perencanaan merupakan penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan dilakukan, bagaimana, bilamana dan oleh siapa.
Menurut Terry (1960) dalam Mardikanto (2010), perencanaan diartikan sebagai suatu proses pemilihan dan menghubung-hubungkan fakta, serta menggunakannya untuk menyusun asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi di masa datang, untuk kemudian merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan demi tercapainya tujuan-tujuan yang diharapkan.
Perencanaan juga diartikan sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang berdasarkan fakta, mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan yang diharapkan atau yang dikehendaki.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup lima pendekatan yaitu: (1) politik, (2) teknokratik, (3) partisipatif, (4) atas-bawah (top-down), (5) bawah-atas (bottom-up).
Ahli-ahli teori perencanaan publik mengemukakan beberapa proses perencanaan (1) perencanaan teknokrat; (2) perencanaan partisipatif; (3) perencanaan top-down; (4) perencanaan bottom up (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 1996).
1. Perencanaan teknokrat
Menurut Suzetta (2007) adalah proses perencanaan yang dirancang berdasarkan data dan hasil pengamatan kebutuhan masyarakat dari pengamat professional, baik kelompok masyarakat yang terdidik yang walau tidak mengalami sendiri namun berbekal pengetahuan yang dimiliki dapat menyimpulkan kebutuhan akan suatu barang yang tidak dapat disediakan pasar, untuk menghasilkan perspektif akademis pembangunan. Pengamat ini bisa pejabat pemerintah, bisa non-pemerintah, atau dari perguruan tinggi.
Menurut penjelasan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, “perencanaan teknokrat dilaksanakan dengan menggunakan metoda dan kerangka pikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu”.
2. Perencanaan partisipatif
Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (1996) adalah proses perencanaan yang diwujudkan dalam musyawarah ini, dimana sebuah rancangan rencana dibahas dan dikembangkan bersama semua pelaku pembangunan (stakeholders). Pelaku pembangunan berasal dari semua aparat penyelenggara negara (eksekutif,legislatif, dan yudikatif), masyarakat, rohaniwan, dunia usaha, kelompok profesional, organisasi-organisasi non-pemerintah.
Menurut Sumarsono (2010), perencanaan partisipatif adalah metode perencanaan pembangunan dengan cara melibatkan warga masyarakat yang diposisikan sebagai subyek pembangunan.
Menurut penjelasan UU. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional: “perencanaan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki”. Dalam UU No. 25 Tahun 2004, dijelaskan pula “partisipasi masyarakat” adalah keikutsertaan untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.
3. Perencanaan top down
Menurut Suzetta (1997) adalah proses perencanaan yang dirancang oleh lembaga/departemen/daerah menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan fungsinya.
4. Perencanaan bottom up
Menurut (www.actano.com) adalah planning approach starting at the lowest hierarchical level and working upward (pendekatan perencanaan yang dimulai dari tingkatan hirarkis paling rendah menuju ke atas).
Selain itu, menurut penjelasan UU 25 Tahun 2004, pendekatan atas-bawah (top down) dan bawah-atas (bottom up) dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.
TUJUAN PERENCANAAN
Tujuan perencanaan menurut Stephen Robbins dan Mary Coulter dalam Wikipedia adalah (1) memberikan pengarahan yang baik; (2) mengurangi ketidakpastian; (3) meminimalisir pemborosan; (4) menetapkan tujuan dan standar yang digunakan dalam fungsi selanjutnya yaitu proses pengontrolan dan evaluasi.
Tujuan perencanaan dari masing-masing proses perencanaan sebagai berikut:
1. Perencanaan teknokrat
Tujuannya untuk membangun perencanaan strategis dan perencanaan kontingensi, menetapkan ketentuan-ketentuan, standar, prosedur petunjuk pelaksanaan serta evaluasi, pelaporan dan langkah taktis untuk menopang organisasi (Tomatala, 2010).
2. Perencanaan partisipatif
Tujuannya agar masyarakat diharapkan mampu mengetahui permasalahannya sendiri di lingkungannya, menilai potensi SDM dan SDA yang tersedia, dan merumuskan solusi yang paling menguntungkan.
3. Perencanaan top down
Tujuannya adalah untuk menyeragamkan “corak”, karena perencanaan top down menurut Djunaedi (2000) dalam kegiatan perencanaan kota dan daerah dilakukan dengan mengacu pada corak yang seragam yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan mengikuti “juklak dan juknis” (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis).
4. Perencanaan bottom up
Tujuan adalah untuk menghimpun masukan dari “bawah”, karena menurut Sumarsono (2010), apabila di Indonesia perencanaan bottom up dimulai dari tingkat desa, yang biasanya dihadiri oleh mereka yang ditunjuk peraturan perundangan ataupun kebijakan lain, misalnya melalui kegiatan Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) atau Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
PRINSIP PERENCANAAN
Secara umum prinsip perencanaan menurut Abe dalam Ovalhanif (2009) adalah:
1. Apa yang akan dilakukan, yang merupakan jabaran dari visi dan misi;
2. Bagaimana mencapai hal tersebut;
3. Siapa yang melakukan;
4. Lokasi aktivitas;
5. Kapan akan dilakukan, berapa lama;
6. Sumber daya yang dibutuhkan.
Prinsip-prinsip perencanaan menurut Prinsip-prinsip Penyusunan Renstra Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD (2007) sebagai berikut:
A. Prinsip-prinsip perencanaan teknokratis:
1. Ada rumusan isu dan permasalahan pembangunan yang jelas;
2. Ada rumusan prioritas isu sesuai dengan urgensi, kepentingan, dan dampak isu terhadap kesejahteraan masyarakat;
3. Ada rumusan tujuan pembangunan yang memenuhi kriteria SMART (specific, measurable, achievable, result oriented, time bound);
4. Ada rumusan alternatif strategi untuk pencapaian tujuan;
5. Ada rumusan kebijakan untuk masing-masing strategi;
6. Ada pertimbangan atas kendala ketersediaan sumberdaya dan dana;
7. Ada prioritas program;
8. Ada tolok ukur dan target kinerja capaian program;
9. Ada pagu indikatif program;
10. Ada kejelasan siapa bertanggungjawab untuk mencapai tujuan, sasaran, dan hasil, serta waktu penyelesaian termasuk tinjau ulang kemanjuan pencapaian sasaran;
11. Ada kemampuan untuk menyesuaikan dari waktu ke waktu terhadap perkembangan internal dan eksternal yang terjadi;
12. Ada evaluasi terhadap proses perencanaan yang dilakukan;
13. Ada komunikasi dan konsultasi berkelanjutan dari dokumen yang dihasilkan;
14. Ada instrumen, metodologi, pendekatan yang tepat digunakan untuk mendukung proses perencanaan.
B. Prinsip-prinsip perencanaan partisipatif:
1. Ada identifikasi stakeholders yang relevan untuk dilibatkan dalam proses perumusan visi, misi, dan agenda SKPD serta dalam proses pengambilan keputusan penyusunan renstra SKPD;
2. Ada kesetaraan antara government dan non government stakeholders dalam pengambilan keputusan;
3. Ada transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan;
4. Ada keterwakilan yang memadai dari seluruh segmen masyarakat, terutama kaum perempuan dan kelompok marjinal;
5. Ada sense of ownership masyarakat terhadap renstra SKPD
6. Ada pelibatan media;
7. Ada konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan keputusan seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan, perumusan tujuan, strategi, dan kebijakan, dan prioritas program.
C. Prinsip-prinsip perencanaan top down:
1. Ada sinergi dengan RPJM Nasional dan Renstra Kementerian/Lembaga;
2. Ada sinergi dan konsistensi dengan RPJPD dan RPJMD;
3. Ada sinergi dan konsistensi dengan RTRWD;
4. Ada sinergi dan komitmen pemerintah terhadap tujuan-tujuan pembangunan global Millenium Development Goals; Sustainable Development, pemenuhan HAM, pemenuhan air bersih dan sanitasi, dan sebagainya.
D. Prinsip-prinsip perencanaan bottom up :
1. Ada penjaringan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk melihat konsistensi dengan visi, misi dan program Kepala Daerah terpilih;
2. Memperhatikan hasil proses musrenbang dan kesepakatan dengan masyarakat tentang prioritas pembangunan daerah;
3. Mempertimbangkan hasil Forum Multi Stakeholders SKPD;
4. Memperhatikan hasil Proses Penyusunan Renstra SKPD.
Sedangkan menurut Sumarsono (2010) prinsip perencanaan teknokrat dan partisipatif, dijelaskan sebagai berikut: pertama, prinsip perencanaan teknokrat yaitu dilakukan secara sepihak oleh para teknokrat yang duduk di struktur pemerintah, tidak melibatkan warga masyarakat, sehingga perencanaan pembangunan biasanya justru tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, karena seringkali jauh dari harapan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat dibiarkan menjadi penonton saja. Kedua, prinsip perencanaan partisipatif yaitu masyarakat sebagai subyek pembangunan dalam arti memberikan peluang masyarakat untuk menggunakan hak-hak politiknya untuk memberikan masukan dan aspirasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan.
FILOSOFI PERENCANAAN PROGRAM
Menurut Ovalhanif (2009), “filsafat perencanaan” adalah suatu studi tentang prinsip-prinsip dalam proses dan mekanisme perencanaan secara mendalam, luas, dan menyeluruh berdasarkan filsafat antologis, epistemologis, dan aksiologis.
Filsafat perencanaan juga diharapkan akan dapat menguraikan beberapa komponen penting perencanaan dalam sebuah perencanaan yakni tujuan apa yang hendak dicapai, kegiatan tindakan-tindakan untuk merealisasikan tujuan dan waktu kapan bilamana tindakan tersebut hendak dilakukan.
Kerangka pikir dari filosofi perencanaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Strategi perencanaan adalah untuk membentuk/membuat suatu konsep/konteks untuk keputusan dalam kelembagaan;
2. Tujuan dan proses perencanaan adalah untuk merumuskan arah pelembagaan dan berusaha untuk lebih baik;
3. Hasil yang diinginkan dari proses perencanaan adalah untuk menyajikan suatu dokumen yang penting, berguna bagi semua orang.
Filosofi perencanaan strategis mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan yang realitas dengan mengantisipasi perkembangan masa depan.
1. Filosofi Perencanaan Teknokrat
a. Dilaksanakan oleh kelompok teknorat;
b. Keberadaan dimensi politik sebagai elemen yang secara signifikan mempengaruhi proses dan hasil perencanaan;
c. Perencanaan dipersepsikan menjadi sebagai alat pengambilan keputusan yang bebas nilai dan tidak ada urusannya dengan kepentingan dan proses politik yang dilakukan oleh para politikus dan pengambil keputusan. Politik sebagai elemen bebas yang menganggu keseimbangan dalam proses perencanaan yang terjadi;
d. Menempatkan masyarakat sebagai objek rekayasa dan politik sebagai sebuah elemen irasional dan varian yang harus dihindari;
e. Produk perencanaan memiliki posisi yang sangat signifikan dalam mentransformasi masyarakat.
2. Filosofi Perencanaan Partisipatif
Menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian masalah sampai penentuan skala prioritas.
3. Filosofi Perencanaan top down
a. Dilaksanakan oleh sekelompok elite politik;
b. Melibatkan lebih banyak teknokrat;
c. Mengandalkan otoritas dan diskresi;
d. Mempunyai argumen untuk meningkatkan efisiensi, penegakan peraturan, konsistensi input-target-output, dan publik/ masyarakat masih sulit dilibatkan.
4. Filosofi Perencanaan bottom up
a. Dilaksanakan secara kolektif;
b. Mengandalkan persuasi;
c. Mempunyai argumen untuk meningkatkan efektivitas, meningkatkan kinerja (performance, outcome), merupakan social virtue (kearifan sosial), serta masyarakat diasumsikan sudah paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.
Perencanaan menurut Abe (2001) dalam Ovalhanif (2009) adalah susunan (rumusan) sistematik mengenai langkah-langkah mengenai langkah (tindakan-tindakan) yang akan dilakukan di masa depan, dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang seksama atas potensi, faktor-faktor eksternal dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Tjokroamidjojo (1995) dalam Ovalhanif (2009) mendefinisikan perencanaan sebagai suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (maksimum output) dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif. Selanjutnya dikatakan bahwa, perencanaan merupakan penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan dilakukan, bagaimana, bilamana dan oleh siapa.
Menurut Terry (1960) dalam Mardikanto (2010), perencanaan diartikan sebagai suatu proses pemilihan dan menghubung-hubungkan fakta, serta menggunakannya untuk menyusun asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi di masa datang, untuk kemudian merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan demi tercapainya tujuan-tujuan yang diharapkan.
Perencanaan juga diartikan sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang berdasarkan fakta, mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan yang diharapkan atau yang dikehendaki.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup lima pendekatan yaitu: (1) politik, (2) teknokratik, (3) partisipatif, (4) atas-bawah (top-down), (5) bawah-atas (bottom-up).
Ahli-ahli teori perencanaan publik mengemukakan beberapa proses perencanaan (1) perencanaan teknokrat; (2) perencanaan partisipatif; (3) perencanaan top-down; (4) perencanaan bottom up (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 1996).
1. Perencanaan teknokrat
Menurut Suzetta (2007) adalah proses perencanaan yang dirancang berdasarkan data dan hasil pengamatan kebutuhan masyarakat dari pengamat professional, baik kelompok masyarakat yang terdidik yang walau tidak mengalami sendiri namun berbekal pengetahuan yang dimiliki dapat menyimpulkan kebutuhan akan suatu barang yang tidak dapat disediakan pasar, untuk menghasilkan perspektif akademis pembangunan. Pengamat ini bisa pejabat pemerintah, bisa non-pemerintah, atau dari perguruan tinggi.
Menurut penjelasan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, “perencanaan teknokrat dilaksanakan dengan menggunakan metoda dan kerangka pikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu”.
2. Perencanaan partisipatif
Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (1996) adalah proses perencanaan yang diwujudkan dalam musyawarah ini, dimana sebuah rancangan rencana dibahas dan dikembangkan bersama semua pelaku pembangunan (stakeholders). Pelaku pembangunan berasal dari semua aparat penyelenggara negara (eksekutif,legislatif, dan yudikatif), masyarakat, rohaniwan, dunia usaha, kelompok profesional, organisasi-organisasi non-pemerintah.
Menurut Sumarsono (2010), perencanaan partisipatif adalah metode perencanaan pembangunan dengan cara melibatkan warga masyarakat yang diposisikan sebagai subyek pembangunan.
Menurut penjelasan UU. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional: “perencanaan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki”. Dalam UU No. 25 Tahun 2004, dijelaskan pula “partisipasi masyarakat” adalah keikutsertaan untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.
3. Perencanaan top down
Menurut Suzetta (1997) adalah proses perencanaan yang dirancang oleh lembaga/departemen/daerah menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan fungsinya.
4. Perencanaan bottom up
Menurut (www.actano.com) adalah planning approach starting at the lowest hierarchical level and working upward (pendekatan perencanaan yang dimulai dari tingkatan hirarkis paling rendah menuju ke atas).
Selain itu, menurut penjelasan UU 25 Tahun 2004, pendekatan atas-bawah (top down) dan bawah-atas (bottom up) dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.
TUJUAN PERENCANAAN
Tujuan perencanaan menurut Stephen Robbins dan Mary Coulter dalam Wikipedia adalah (1) memberikan pengarahan yang baik; (2) mengurangi ketidakpastian; (3) meminimalisir pemborosan; (4) menetapkan tujuan dan standar yang digunakan dalam fungsi selanjutnya yaitu proses pengontrolan dan evaluasi.
Tujuan perencanaan dari masing-masing proses perencanaan sebagai berikut:
1. Perencanaan teknokrat
Tujuannya untuk membangun perencanaan strategis dan perencanaan kontingensi, menetapkan ketentuan-ketentuan, standar, prosedur petunjuk pelaksanaan serta evaluasi, pelaporan dan langkah taktis untuk menopang organisasi (Tomatala, 2010).
2. Perencanaan partisipatif
Tujuannya agar masyarakat diharapkan mampu mengetahui permasalahannya sendiri di lingkungannya, menilai potensi SDM dan SDA yang tersedia, dan merumuskan solusi yang paling menguntungkan.
3. Perencanaan top down
Tujuannya adalah untuk menyeragamkan “corak”, karena perencanaan top down menurut Djunaedi (2000) dalam kegiatan perencanaan kota dan daerah dilakukan dengan mengacu pada corak yang seragam yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan mengikuti “juklak dan juknis” (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis).
4. Perencanaan bottom up
Tujuan adalah untuk menghimpun masukan dari “bawah”, karena menurut Sumarsono (2010), apabila di Indonesia perencanaan bottom up dimulai dari tingkat desa, yang biasanya dihadiri oleh mereka yang ditunjuk peraturan perundangan ataupun kebijakan lain, misalnya melalui kegiatan Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) atau Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
PRINSIP PERENCANAAN
Secara umum prinsip perencanaan menurut Abe dalam Ovalhanif (2009) adalah:
1. Apa yang akan dilakukan, yang merupakan jabaran dari visi dan misi;
2. Bagaimana mencapai hal tersebut;
3. Siapa yang melakukan;
4. Lokasi aktivitas;
5. Kapan akan dilakukan, berapa lama;
6. Sumber daya yang dibutuhkan.
Prinsip-prinsip perencanaan menurut Prinsip-prinsip Penyusunan Renstra Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD (2007) sebagai berikut:
A. Prinsip-prinsip perencanaan teknokratis:
1. Ada rumusan isu dan permasalahan pembangunan yang jelas;
2. Ada rumusan prioritas isu sesuai dengan urgensi, kepentingan, dan dampak isu terhadap kesejahteraan masyarakat;
3. Ada rumusan tujuan pembangunan yang memenuhi kriteria SMART (specific, measurable, achievable, result oriented, time bound);
4. Ada rumusan alternatif strategi untuk pencapaian tujuan;
5. Ada rumusan kebijakan untuk masing-masing strategi;
6. Ada pertimbangan atas kendala ketersediaan sumberdaya dan dana;
7. Ada prioritas program;
8. Ada tolok ukur dan target kinerja capaian program;
9. Ada pagu indikatif program;
10. Ada kejelasan siapa bertanggungjawab untuk mencapai tujuan, sasaran, dan hasil, serta waktu penyelesaian termasuk tinjau ulang kemanjuan pencapaian sasaran;
11. Ada kemampuan untuk menyesuaikan dari waktu ke waktu terhadap perkembangan internal dan eksternal yang terjadi;
12. Ada evaluasi terhadap proses perencanaan yang dilakukan;
13. Ada komunikasi dan konsultasi berkelanjutan dari dokumen yang dihasilkan;
14. Ada instrumen, metodologi, pendekatan yang tepat digunakan untuk mendukung proses perencanaan.
B. Prinsip-prinsip perencanaan partisipatif:
1. Ada identifikasi stakeholders yang relevan untuk dilibatkan dalam proses perumusan visi, misi, dan agenda SKPD serta dalam proses pengambilan keputusan penyusunan renstra SKPD;
2. Ada kesetaraan antara government dan non government stakeholders dalam pengambilan keputusan;
3. Ada transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan;
4. Ada keterwakilan yang memadai dari seluruh segmen masyarakat, terutama kaum perempuan dan kelompok marjinal;
5. Ada sense of ownership masyarakat terhadap renstra SKPD
6. Ada pelibatan media;
7. Ada konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan keputusan seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan, perumusan tujuan, strategi, dan kebijakan, dan prioritas program.
C. Prinsip-prinsip perencanaan top down:
1. Ada sinergi dengan RPJM Nasional dan Renstra Kementerian/Lembaga;
2. Ada sinergi dan konsistensi dengan RPJPD dan RPJMD;
3. Ada sinergi dan konsistensi dengan RTRWD;
4. Ada sinergi dan komitmen pemerintah terhadap tujuan-tujuan pembangunan global Millenium Development Goals; Sustainable Development, pemenuhan HAM, pemenuhan air bersih dan sanitasi, dan sebagainya.
D. Prinsip-prinsip perencanaan bottom up :
1. Ada penjaringan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk melihat konsistensi dengan visi, misi dan program Kepala Daerah terpilih;
2. Memperhatikan hasil proses musrenbang dan kesepakatan dengan masyarakat tentang prioritas pembangunan daerah;
3. Mempertimbangkan hasil Forum Multi Stakeholders SKPD;
4. Memperhatikan hasil Proses Penyusunan Renstra SKPD.
Sedangkan menurut Sumarsono (2010) prinsip perencanaan teknokrat dan partisipatif, dijelaskan sebagai berikut: pertama, prinsip perencanaan teknokrat yaitu dilakukan secara sepihak oleh para teknokrat yang duduk di struktur pemerintah, tidak melibatkan warga masyarakat, sehingga perencanaan pembangunan biasanya justru tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, karena seringkali jauh dari harapan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat dibiarkan menjadi penonton saja. Kedua, prinsip perencanaan partisipatif yaitu masyarakat sebagai subyek pembangunan dalam arti memberikan peluang masyarakat untuk menggunakan hak-hak politiknya untuk memberikan masukan dan aspirasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan.
FILOSOFI PERENCANAAN PROGRAM
Menurut Ovalhanif (2009), “filsafat perencanaan” adalah suatu studi tentang prinsip-prinsip dalam proses dan mekanisme perencanaan secara mendalam, luas, dan menyeluruh berdasarkan filsafat antologis, epistemologis, dan aksiologis.
Filsafat perencanaan juga diharapkan akan dapat menguraikan beberapa komponen penting perencanaan dalam sebuah perencanaan yakni tujuan apa yang hendak dicapai, kegiatan tindakan-tindakan untuk merealisasikan tujuan dan waktu kapan bilamana tindakan tersebut hendak dilakukan.
Kerangka pikir dari filosofi perencanaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Strategi perencanaan adalah untuk membentuk/membuat suatu konsep/konteks untuk keputusan dalam kelembagaan;
2. Tujuan dan proses perencanaan adalah untuk merumuskan arah pelembagaan dan berusaha untuk lebih baik;
3. Hasil yang diinginkan dari proses perencanaan adalah untuk menyajikan suatu dokumen yang penting, berguna bagi semua orang.
Filosofi perencanaan strategis mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan yang realitas dengan mengantisipasi perkembangan masa depan.
1. Filosofi Perencanaan Teknokrat
a. Dilaksanakan oleh kelompok teknorat;
b. Keberadaan dimensi politik sebagai elemen yang secara signifikan mempengaruhi proses dan hasil perencanaan;
c. Perencanaan dipersepsikan menjadi sebagai alat pengambilan keputusan yang bebas nilai dan tidak ada urusannya dengan kepentingan dan proses politik yang dilakukan oleh para politikus dan pengambil keputusan. Politik sebagai elemen bebas yang menganggu keseimbangan dalam proses perencanaan yang terjadi;
d. Menempatkan masyarakat sebagai objek rekayasa dan politik sebagai sebuah elemen irasional dan varian yang harus dihindari;
e. Produk perencanaan memiliki posisi yang sangat signifikan dalam mentransformasi masyarakat.
2. Filosofi Perencanaan Partisipatif
Menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian masalah sampai penentuan skala prioritas.
3. Filosofi Perencanaan top down
a. Dilaksanakan oleh sekelompok elite politik;
b. Melibatkan lebih banyak teknokrat;
c. Mengandalkan otoritas dan diskresi;
d. Mempunyai argumen untuk meningkatkan efisiensi, penegakan peraturan, konsistensi input-target-output, dan publik/ masyarakat masih sulit dilibatkan.
4. Filosofi Perencanaan bottom up
a. Dilaksanakan secara kolektif;
b. Mengandalkan persuasi;
c. Mempunyai argumen untuk meningkatkan efektivitas, meningkatkan kinerja (performance, outcome), merupakan social virtue (kearifan sosial), serta masyarakat diasumsikan sudah paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.
Komentar
Posting Komentar